Anwar Tjokroaminoto

From Ensiklopedia

Anwar Tjokroaminoto adalah jurnalis dan politisi yang menjabat berbagai kedudukan penting pada masa kemerdekaan Indonesia. Ia adalah putra H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, dan tokoh pergerakan anti kolonial terkemuka pada awal abad ke-20. Ia memiliki nama lengkap Raden Mas Oetarjo Anwar Tjokroaminoto ini, dilahirkan di Surabaya pada 3 Mei 1909, sebagai anak kedua dari lima bersaudara (Java Bode, edisi 12 Januari 1950; Penerangan, 1954: 75). Lahir dari seorang tokoh pergerakan nasional, pendidikan tentu menjadi salah satu hal penting yang tidak bisa ditawar oleh apapun. Sejak kecil, Anwar Tjokroaminoto sudah mendapatkan fasilitas pendidikan formal yang memadai, dari mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.

Pada tingkat dasar Anwar mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School), yang kemudian pada tingkat menengah ia lanjutkan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) (Parlaungan, 1956: 328). Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya di MULO, atas berbagai pertimbangan, Anwar memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Jajasan Douwes  Dekker dengan memilih bagian Jurnalistik dan Pengetahuan Umum, dan lulus pada 1940 (Penerangan, 1954: 75). Dasar pendidikannya inilah yang kemudian membuatnya berkarir pada  bidang jurnalistik dan pendidikan.

Anwar Tjokroaminoto berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jajasan Douwes Dekker pada bidang jurnalistik dan pengetahuan umum. Di tengah proses pendidikannya, Anwar sudah mulai berkecimpung di dunia kerja sebagai seorang jurnalis dan juga guru, di sekolah PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), binaan sang ayah H.O.S. Tjokroaminoto. Sepanjang tahun 1930-1935 secara berturut-turut ia menjabat sebagai guru dan Kepala Sekolah HIS PSII di Jakarta (Penerangan, 1954: 75). Setelah dari Jakarta, ia ditugaskan untuk menjadi Guru Kepala “Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rakjat” di Way Kunang, Lampung. Karirnya di bidang pendidikan terus meningkat, hingga kemudian ia berhasil menjadi Pengawas Sekolah-sekolah PSII di Sumatra Selatan, dan terakhir ia ditugaskan untuk menjadi Guru dan Kepala Sekolah PSII di Lampung (Penerangan, 1954: 75).

Selain terkenal sebagai seorang politikus, Anwar Tjokroaminoto juga terkenal dengan karirnya sebagai seorang jurnalis. Dalam kurun waktu 1936-1942, Anwar aktif sebagai Pemimpin  Harian “Pembangoen” dan juga sebagai Kepala Redaksi Harian “Asia Raya” di Jakarta (Parlaungan, 1956: 328). Surat kabar Pembangoen merupakan surat kabar yang terbit harian pada periode pendudukan Jepang, yakni sejak Mei 1942 dan berakhir pada akhir 1943. Sedangkan surat kabar “Asia Raya” merupakan surat kabar berbasis di Jakarta, yang mulai terbit pada April 1942, dan berakhir pada September 1945 (Horton, 2019: 52).

Karir jurnalistik Anwar Tjokroaminoto tidak berhenti hanya sampai di situ. Pasca kemerdekaan, dalam kurun waktu 1947-1949, ia aktif di beberapa surat kabar, diantaranya menjadi Pemimpin Majalah “Berita Tentara RI”, Pemimpin Harian “Al Djihad”, dan Redaktur Harian “Indonesia Merdeka” (Parlaungan, 1956: 328). Kemudian, pada 1949 setelah surat kabar Pemandangan “mati suri”, akhirnya muncul kembali dan menerbitkan setidaknya 20 berita, dengan Anwar Tjokroaminoto sebagai Pemimpin Redaksi (De Locomotief, edisi 17 September 1950).  Selain itu, pada 1966-1967 ia juga aktif untuk menjadi pengurus surat kabar Nusa Putera, yang merupakan surat kabar resmi dari PSII (Paget, 1967: 222).

Selama menjadi jurnalis, melalui karya-karyanya Anwar Tjokroaminoto dikenal sebagai seorang tokoh Muslim dan juga nasionalis yang sangat menentang penjajahan Belanda. Beberapa artikel Anwar Tjokroaminoto yang memuat pemikiran kritisnya diantaranya yaitu Lebih Loeas Lagi, Sikap Diam, dan Saringan (Mark, 2018: 28-135). Selain itu, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan muslim yang sangat mendukung demokrasi di Indonesia (Maarif, 2018: 118).

Pada periode sebelum kemerdekaan, Anwar Tjokroaminoto aktif di Partai Politik yang dibesarkan oleh sang Ayah, yakni Partai Sarekat Islam Indonesia. Akan tetapi PSII bubar pada awal periode pendudukan Jepang. Hal ini karena pada saat tersebut Jepang mendirikan Masyumi (Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia), yang kemudian menjadi satu-satunya wadah bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia (Bosworth, et.al, 1997: 53). Kemudian, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 7 November 1945 Masyumi resmi dinyatakan sebagai partai politik pada Kongres Umat Islam di Yogyakarta. Anwar Tjokroaminoto memutuskan untuk bergabung dengan Masyumi, dan kemudian menjadi anggota Dewan Pimpinan (Madinier, 2015: 45).

Sebelumnya, pada 2 Oktober 1945, Anwar dengan beberapa rekannya dari PSII dan NU, menginisiasi sebuah pertemuan di Balai Muslimin Indonesia, bersama dengan para mahasiswa dari Sekolah Tinggi Islam. Pertemuan ini yang kemudian menjadi awal terbentuknya Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan menjadi cikal bakal diresmikannya Masyumi sebagai sebuah organisasi partai politik, satu bulan setelah pertemuan ini diselenggarakan (Madinier, 2015: 354).

Setelah kemerdekaan Indonesia, dibentuk sebuah formasi kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan. Pada susunan kabinet yang kedua–atau yang dikenal dengan nama Kabinet Sjahrir (I)Amir Sjarifuddin yang sedang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, mencetuskan sebuah program yang disebut dengan Pepolit (Pendidikan Politik Tentara) (Triantara, 2009: 46). Anwar Tjokroaminoto, yang pada saat tersebut tidak mempunyai dasar pendidikan militer sama sekali, menjadi bagian dari TRI dengan terpilihnya ia sebagai anggota Pepolit, di bawah pimpinan Sukono Djojopratignjo (Simatupang, 1972: 54).

Adapun tugas dari Anwar Tjokroaminoto beserta seluruh anggota Pepolit adalah memberikan pendidikan politik kepada para anggota militer sebagai bekal agar mereka loyal terhadap pemerintah dan tidak bertindak sendiri tanpa ada perintah dari pusat (Triantara, 2009: 46-49). Selain itu, Di TRI, Anwar juga sempat menjalankan beberapa posisi, diantaranya yaitu sebagai juru bicara TRI, dan ia juga menjadi Pemimpin Majalah “Berita Tentara RI”. Kemudian, untuk pengalamannya di bidang militer ia juga pernah tergabung menjadi bagian dari PETA (Pembela Tanah Air) dengan jabatan sebagai opsir (Parlaungan, 1956: 328).

Pada 1947 Anwar Tjokroaminoto diangkat menjadi Menteri Tanpa Portofolio dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Akan tetapi, pada 22 Januari 1948 Anwar beserta lima menteri lainnya yang berasal dari Masyumi, mengundurkan diri dari Kabinet Amir Sjarifuddin II (Finch dan Lev, 1965: 12). Pengunduran diri ini dilakukan bukan tanpa sebab. Pada 1947, PSII memutuskan untuk memisahkan diri dari Masyumi, dan mendeklarasikan diri sebagai The newly reborn PSII (Fogg, 2020: 215). Oleh karena itu, setelah mengundurkan diri dari Kabinet Amir Sjarifuddin, Anwar memutuskan untuk bergabung kembali dengan ‘kawan lama’-nya tersebut.

Pada 1948, ketika Negara Islam Indonesia mendeklarasikan diri sebagai badan politik di tingkat daerah, Anwar Tjokroaminoto disinyalir terlibat dalam gerakan tersebut. Hal ini karena pada bulan Oktober 1948 Tentara Belanda menandai Anwar Tjokroaminoto, Kasman Singodimedjo, dan Sangadji sebagai pendukung Darul Islam Tasikmalaya, yang berbasis di Jakarta. Kemudian berdasarkan “Maklumat Negara Islam Indonesia No.6, 21 Desember 1948”, Kartosuwiryo sendiri mengumumkan bahwa Abikoesno dan Anwar Tjokroaminoto merupakan representatif NII di wilayah republik (Formichi, 2012: 125).

Pada awal Januari 1950 Anwar Tjokroaminoto diberi mandat untuk membentuk sebuah kabinet baru oleh Wali Negara Pasundan, menggantikan Jumhana yang mengundurkan diri pada 14 Desember 1949 (Trouw, edisi 07 Januari 1950; Sjamsudin et.al, 1992: 76). Belum diketahui pasti alasan khusus mengapa Anwar menjadi bagian Negara Pasundan. Kabinet bentukan Anwar kemudian diresmikan pada 11 Januari 1950, dan ia sendiri menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri (De Locomotief, 12 Januari 1950; De Nieuwe Courant, 12  Januari 1950; dan Indische Courant voor Nederland, edisi 21 Januari 1950).

Sekitar dua minggu pasca pelantikan kabinet Anwar Tjokroaminoto di Negara Pasundan, terjadi perlawanan yang dilakukan oleh Raymond Westerling yang dikenal dengan gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil). Anwar Tjokroaminoto, bersama dengan para petinggi Negara Pasundan lainnya dicurigai ikut terlibat dalam gerakan ini. Anwar Tjokroaminoto dicurigai karena ia sempat terlihat berkomunikasi dengan Westerling (Nieuwe Courant, edisi 16 Januari 1950). Kecurigaan ini kemudian berujung pada penangkapan Anwar Tjokroaminoto bersama dengan sembilan orang lainnya, pada 25 Januari 1950 (De Locomotief, 26 Januari 1950). Dua hari setelah penangkapan para petinggi Negara Pasundan, kekuasaan atas Negara Pasundan diberikan kepada RIS, hingga akhirnya pada 30 Januari, Walinegara R.A.A.Wiranatakusumah mengundurkan diri (Feith, 2007: 63).

Setelah RIS bubar pada 1950, dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Anwar Tjokroaminoto kembali aktif di dunia politik. Pada 1952 Anwar Tjokroaminoto diangkat menjadi Menteri Sosial untuk Kabinet Wilopo, sebagai perwakilan dari fraksi PSII. Salah satu kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh Anwar Tjokroaminoto selama menjabat sebagai Menteri Sosial adalah keputusannya mengenai penyerahan sebagian dari urusan sosial pemerintah pusat, kepada pemerintah provinsi, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45 Tahun 1952 (ANRI, 1952). Nyatanya jabatan tersebut tidak berumur panjang, pada 11 Mei 1953 Anwar berhenti dari jabatan sebagai Menteri Hubungan Sosial, setelah mengajukan pengunduran diri kepada presiden. Pemberhentian jabatannya ini secara resmi dikeluarkan berdasarkan Keputusan RI No.74 Th. 1953 (ANRI, 1953). Pada Pemilu pertama 1955, Anwar Tjokroaminoto mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR. Kemudian ia terpilih menjadi anggota DPR RI di daerah pemilihan Sumatera Selatan, sebagai perwakilan dari fraksi PSII. Pada saat terpilih, Anwar Tjokroaminoto merupakan wakil ketua dalam susunan pengurus PSII, dengan Sjahboeddin Latif sebagai ketua (Parlaungan, 1956: 326).

Terbentuknya pemerintahan Orde Baru tidak menjadikan karir politik Anwar Tjokroaminoto surut. Anwar Tjokroaminoto terpilih menjadi anggota DPA selama beberapa kali periode, yakni pada 1966-1968; 1968-1973; dan 1973-1978. Akan tetapi, pada periode 1978 Anwar tidak menyelesaikan jabatannya, karena meninggal dunia pada 24 November 1975 (Ghazali, 1986: 466). Ia juga berperan aktif ketika Presiden Soeharto membentuk sebuah wadah untuk memberikan penilaian objektif terhadap langkah yang diambil oleh pemerintah, sekaligus memberikan pertimbangan mengenai langkah yang efektif untuk memberantas korupsi pada 1970. Wadah yang diberi nama Komisi Empat, dengan M. Hatta sebagai penasihat. Anwar Tjokroaminoto kemudian dipilih untuk menjadi anggota komisi ini, bersama dengan Wilopo, I.J. Kasimo, Prof. Johanes, dan Mayjen Sutopo Yuwono sebagai sekretaris (Fauzin, 2020: 33; Sumarkidjo, 2013: 70).

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Anderson, Benedict R. O’G. 1972. Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. London: Cornell University Press Ltd.

Bosworth, C. E., et.al. 1997. The Encyclopedia of Islam New Edition: Prepared By a Number of Leading Orientalist Volume IX. Leiden: Koninklijke Brill.

De Locomotief, 12 Januari 1950.

De Locomotief, edisi 17 September 1950.

De Locomotief, edisi 26 Januari 1950.

De Nieuwe Courant, edisi 12  Januari 1950.

Fauzin. “Uji Publik Sebagai Model Pelibatan Masyarakat dalam Seleksi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi”, dalam RechtIidee, Vol. 15, No. 1, Juni 2020.

Feith, Herbert. 2007. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.

Finch, Susan dan Daniel S. Lev. 1965. Republic of Indonesia Cabinets 1945-1965.            New York: Cornell University.

Fogg, Kevin W. 2020. Indonesia’s Islamic Revolution. United Kingdom: Cambridge University Press.

Formichi, Chiara. 2012. Islam and The Making of The Nation: Kartosuwiryo and Political Islam in Twentieth-century Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Hartono. “Upaya Al Azhar dalam Memodernisasi Pendidikan Islam”, dalam Prosiding Konferensi Nasional ke-7 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah, Jakarta, 23-25 Maret 2018.

Horton, William Bradley. Djiwa Baroe: The Japanese Occupation of Java and the            Indonesian Press. Disampaikan pada ICAS di Leiden, pada September 2019 (Akita University).

Indische Courant voor Nederland, edisi 21 Januari 1950.

Java Bode, edisi 12 Januari 1950.

Koleksi Arsip Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Parlaungan. 1956. Hasil Rakjat Memilih Tokoh-tokoh Parlemen (Hasil Pemilihan Umum Pertama 1955). Jakarta: CV. GITA.

Koleksi Arsip Kementerian Penerangan. 1954. Kami Perkenalkan. Jakarta: Kementerian Penerangan.

Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI No. 74, Tahun           1953.

Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara tahun 1952 (Dicetak Ulang), No. LN/1952/73; TLN No. 305.

Maarif, Ahmad Syafii. 2018. Islam, Humanity, and Indonesian Identity: Reflections on History. Leiden: Leiden University Press.

Madinier, Remy. 2015. Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism. Singapore: NUS Press.

Mark, Ethan. 2018. Japan’s Occupation of Java in the Second World War. London: Bloomsbury Publishing Plc.

Nieuwe Courant, edisi 16 Januari 1950.

Paget, Roger K. “Djakarta Newspapers 1965-1967: Preliminary Comments”, dalam          Indonesia, Vol. 4, (Oct. 1967), hlm. 211-226.

Simatupang, T.B. 1972. Report from Banaran: Experiences During the People’s War. New York: Cornell University.

Sjamsuddin, Helius., dkk. 1992. Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumarkidjo, Atmadji. “Pers Nasional, Pilar Satu-satunya yang Konsisten Anti Korupsi”, dalam Jurnal Visi Komunikasi, Vol. XII No. 01, Mei 2013.

Triantara, Anjar Y. 2009. “Kebijakan Amir Sjarifuddin terhadap Angkatan Perang Tahun 1946-1948”, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Trouw, edisi 07 Januari.

Zahra, Fatimatuz. “Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Timur Tengah pada Bangunan Masjid Istiqlal Jakarta”, dalam Prosiding Seminar Heritage IPLBI (Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia), No. 1, 2017, hlm. 219-226.