Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu
Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu atau yang kemudian dikenal sebagai Arnold Mononutu, adalah seorang aktivis pergerakan antikolonial dan pahlawan nasional Indonesia. Ia lahir di Sulawesi Utara pada 4 Desember 1896, sebagai anak sulung dari pasangan Agustina van der Slot dan Karel Charles Wilson Mononutu (Nalenan, 1981: 9). Sang Ibu, Agustina van der Slot, merupakan keturunan Borgo (Indo-Eropa), sedangkan sang Ayah merupakan elite Minahasa yang bekerja sebagai pegawai negeri bagian keuangan pemerintah Hindia Belanda (Tirto.id , diakses pada Desember 2021). Terlahir sebagai anak sulung dari keluarga terpandang dan berpendidikan, membuat Arnold mendapatkan fasilitas yang sangat layak sejak kecil, termasuk dalam hal pendidikan.
Pada 1903, Arnold Mononutu memulai pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) Gorontalo dan Manado. Selanjutnya, setelah lulus dari ELS pada 1913, Arnold melanjutkan pendidikan menengahnya di Hogere Burger School (HBS) Batavia. Terdapat beberapa versi mengenai riwayat pendidikan Arnold Mononutu. Dalam sebuah artikel daring yang diterbitkan oleh historia.id, disebutkan bahwa Arnold Mononutu melanjutkan pendidikannya di Middelbare Handels School, Batavia (historia.id , diakses pada Desember 2021. Akan tetapi, dalam biografi mengenai Arnold Mononutu yang ditulis oleh Nalenan (1981) disebutkan bahwa Arnold melanjutkan pendidikannya di HBS, Batavia . Kemudian, narasi yang disusun dalam tulisan ini merujuk pada biografi yang ditulis oleh Nalenan (Nalenan, 1981: 9).
Di sinilah ia kemudian bertemu dengan beberapa tokoh seperti A.A. Maramis dan Achmad Subardjo. Setelah menamatkan pendidikan menengah, Arnold Mononutu dikirim oleh kedua orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di Belanda. Pada 1920, ia berangkat ke Belanda untuk memulai persiapan dan pendidikannya di Akademi Hukum Internasional, Den Haag (Nalenan, 1981: 15). Pendidikannya di Belanda inilah yang kemudian mengawali ‘petualangan’ seorang Arnold Mononutu dalam dunia perpolitikan Tanah Air.
Selama di Belanda, Arnoud Mononutu bergabung dengan Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI) dan berperan aktif dalam organisasi ini. Peran aktif Mononutu kemudian dibuktikan dengan terpilihnya ia menjadi wakil dari Perhimpunan Indonesia pada 1925, dengan Soekiman Wirjosandjojo menjabat sebagai ketua (Poeze, 2008: 187). Pada sekitar tahun 1925, Mononutu yang pada saat tersebut menjabat sebagai wakil ketua Perhimpunan Indonesia, ditunjuk menjadi perwakilan PI untuk mengontak dan membangun hubungan dengan organisasi anti kolonial dari dunia jajahan (khususnya Asia), dalam rangka memperluas propaganda kemerdekaan Indonesia (Hatta, 1981: 106). Mononutu dipilih karena ia menguasai tiga bahasa penting, yaitu Inggris, Belanda, dan Prancis (Utama, 2018: 32). Untuk mengerjakan misi tersebut, Mononutu memberitahu orang tuanya dan administrative supervisor-nya di Belanda, bahwa ia ingin mempelajari politik di Institut d’etudes Politiques di Paris. Namun, pada kenyataannya ia tidak pernah mendaftar (Stutje, 2013:161).
Dalam misinya ini, Mononutu berhasil membangun hubungan dengan organisasi-organisasi anti kolonial, seperti salah satunya adalah Association pour l’etude des Civilisations Orientales (AECO), yang kemudian menjadi pintu gerbang internasionalisasi pemikiran dan program PI di Paris. Dari organisasi inilah PI berhasil memperkenalkan “Indonesia” melalui budaya, yang disampaikan dalam bentuk seni tari yang ditampilkan dalam beberapa forum internasional (Utama, 2018: 37-39). Keberhasilan Mononutu untuk membangun jaringan dengan organisasi dan/atau tokoh-tokoh penting di Paris, berhasil mengangkat nama Indonesia dalam jaringan antikolonial internasional. Hal ini menjadi salah satu kontribusi besar Mononutu dalam upaya internasionalisasi pemikiran dan program Perhimpunan Indonesia.
Setelah bertahun-tahun berjuang secara ‘jarak jauh’, akhirnya pada 1927 Mononutu berhasil kembali dan melanjutkan perjuangannya di Tanah Air. Pertama-tama dalam upaya mewujudkan nasionalisme, Mononutu memutuskan untuk menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno. Selama menjadi anggota PNI, ia kerap kali berperan aktif dalam setiap kegiatan. Salah satu kontribusi Mononutu adalah ia turut berbicara dalam rapat terbuka di Logegebouw, yang pada saat tersebut dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Selain itu, ia juga turut mengecam Belanda karena telah menahan empat mahasiswa Indonesia di Den Haag. Untuk mewujudkan bukti solidaritasnya, akhirnya Mononutu menginisiasi pengumpulan bantuan dana, untuk para mahasiswa yang berada di Belanda (Historia.id , diakses pada Desember 2021). Selain aktif sebagai anggota PNI, Mononutu juga menjadi aktivis Jong Minahasa (1919-1920) dan Jong Celebes (1927).
Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Mononutu bekerja pada sebuah perusahaan eksplorasi minyak milik Jepang yang bernama Mitsui Buissan Kaisha. Di perusahaan Jepang tersebut, ia memperoleh gaji sebesar 400 gulden per bulan. Akan tetapi, ia tidak dapat bertahan lama di tempat barunya tersebut, dan memutuskan keluar pada 1928 (Nalenan, 1981: 101). Setelah berhenti bekerja di perusahaan Jepang, bersama-sama dengan teman-temannya yang lain, Mononutu mendirikan Volksuniveriteit (Universitas Rakyat) pada 30 Agustus 1928. Volksuniversiteit merupakan sebuah badan yang kegiatannya meliputi ceramah-ceramah bagi para pemuda dan orang dewasa, yang kemudian berubah menjadi Perguruan Rakyat (Kurniawan, 2017: 16). Bersama dengan teman-temannya di Volksuniversiteit ini, Mononutu menjadi guru bahasa Prancis. Akan tetapi, peran Mononutu di Perguruan Rakyat harus berhenti pada 1930, karena ia harus kembali ke Manado begitu mendengar kabar bahwa ibunya sakit (lpmpsulawesiutara.kemendikbud.go.id , diakses pada Desember 2021).
Setelah kembali ke Manado, untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari Arnold Mononutu kemudian diangkat menjadi direktur koperasi kopra yang anggotanya mencapai 500 anggota, tersebar di seluruh wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow. Ketika menjabat sebagai direktur tersebut, Mononutu berhasil mendapatkan kredit dari Bank Kredit Umum Rakyat (Algemeene Volkscredietbank), yang saat ini dikenal sebagai Bank Rakyat Indonesia. Kredit ini kemudian digunakan untuk membayar hutang-hutang para petani kopra. Koperasi kopra ini menawarkan harga lebih stabil dan sesuai dengan standar, sehingga membuat para petani menjual kopra mereka ke koperasi. Kopra-kopra tersebut kemudian diekspor melalui Nationale Handelsbank, yakni sebuah bank yang didirikan oleh Belanda untuk membiayai perdagangan antara Belanda dan Hindia-Belanda (Nalenan, 1981: 111-112).
Meskipun Mononutu sudah mempunyai pekerjaan yang mapan, hal tersebut tidak lantas melunturkan jiwa nasionalisme dari seorang Mononutu. Untuk tetap menyebarluaskan paham nasional khususnya di Manado dan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, pada 1937 Mononutu menjadi Ketua Gerakan Rakyat Indonesia di Manado (Tirto.id, diakses pada Desember 2021) . Aktivitas politiknya tersebutlah yang kemudian membuat Mononutu menjadi salah satu sasaran tentara Jepang, ketika mereka datang menduduki Hindia-Belanda pada 1942.
Pada periode awal pendudukannya, Jepang berusaha untuk merampas lini-lini utama pertahanan Belanda, baik itu dari segi ekonomi maupun militer. Selain itu, tentara Jepang juga mengincar tokoh-tokoh penting yang dianggap nasionalis dan membahayakan kedudukan mereka di Hindia-Belanda. Arnold Mononutu yang selama hidupnya berjuang demi kemerdekaan Indonesia dan dikenal sebagai tokoh yang nasionalis, maka ia tidak luput dari sasaran tentara Jepang. Pada 1942, Mononutu dicari oleh tentara Jepang, terutama karena hubungannya dengan organisasi-organisasi nasionalis. Akan tetapi, beruntung ia bertemu dengan seorang Jepang yang menaruh simpati padanya, yakni Yamanishi. Berkat bantuan Yamanishi inilah, Mononutu akhirnya berhasil melarikan diri ke pulau Ternate di Kepulauan Maluku, dan menetap di sana hingga menjelang periode kemerdekaan (Nalenan, 1981: 120).
Setelah periode kemerdekaan, Belanda kembali datang ke Indonesia dan berusaha untuk merebut kembali kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Mononutu yang pada periode tersebut berada di Maluku, ia kembali aktif dalam dunia politik, dengan tergabung menjadi anggota dari Persatuan Indonesia (PI). Organisasi ini dipakai sebagai alat untuk mengkritik kehadiran kolonial belanda yang sudah lama berkuasa di Maluku Utara dan daerah-daerah lain di Timur Indonesia (Hasim, 2018: 116; Amal, 2016: 400). Perjuangannya tersebut kembali diperkuat dengan bergabungnya Mononutu sebagai redaktur dari tabloid mingguan PI yakni “Menara Merdeka”. Melalui surat kabar ini, mereka menyebarluaskan Proklamasi kepada seluruh masyarakat, agar bisa bangkit untuk menghadapi penjajahan kembali di Indonesia, khususnya di wilayah bagian Timur (Hasim, 2018: 116). Selain itu, pada tahun 1947 Arnold Mononutu juga mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI). Organisasi ini dibentuk untuk menyoroti tindakan Belanda yang berupaya untuk kembali menjajah Indonesia, dan untuk meningkatkan perjuangan pro-republik (Nalenan, 1981: 184; Sudarmanto, 2007: 420).
Upaya Belanda untuk menjajah kembali Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, termasuk salah satunya adalah dengan membentuk negara-negara boneka. Berdasarkan hasil Konferensi Denpasar dan Konferensi Malino, dibentuk sebuah negara bagian yang kemudian dikenal dengan nama Negara Indonesia Timur (NIT) (Pakatuwo, 2018: 5). Mononutu yang pada saat tersebut merupakan bagian dari PI, menolak dengan keras pembentukan NIT. Ketidaksetujuannya tersebut kemudian disampaikan melalui Menara Merdeka. Dalam surat kabar tersebut ia dan rekan-rekannya menyampaikan reaksi keras dan kecaman yang sangat tajam, yang ditujukan kepada hasil keputusan Konferensi Malino (Amal, 2016: 417).
Meskipun Mononutu menolak dengan keras hasil keputusan tersebut, mau tidak mau ia harus menerima kenyataan bahwa NIT memang sudah resmi terbentuk. Pada bulan April 1947, diadakan pemilihan Parlemen NIT yang berasal dari dewan-dewan daerah. Pada saat tersebut, Mononutu terpilih untuk menjadi wakil dari Maluku Utara. Wakil-wakil yang duduk dalam Parlemen NIT ini kemudian membentuk fraksi-fraksi yaitu, Fraksi Progresif, Fraksi Demokrat, dan Fraksi Nasional. Pada saat tersebut, Mononutu menjadi pimpinan Fraksi Progresif, yang bertindak sebagai oposisi (Kementerian Penerangan, 1954: 61). Fraksi pimpinan Mononutu ini mencita-citakan NIT agar tetap menjadi bagian dari RI, dan berupaya memperjuangkan kemakmuran rakyat (Amal, 2016: 423).
Perjuangan Mononutu agar NIT menjadi bagian dari Republik juga ditunjukkan dengan bergabungnya ia sebagai anggota Goodwill Mission NIT ke Yogyakarta, pada 1948. Goodwill Mission merupakan sebuah misi untuk mengurangi pertentangan agar mencapai konsensus antara golongan republikan dengan golongan federalis. Misi ini dirintis oleh Anak Agung Gde Agung, yang pada saat tersebut menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT). Goodwill Mission pada saat tersebut berhasil menjadi ‘jembatan’ yang menghubungkan kedua Negara untuk menjalin kerja sama lebih lanjut (Putro, 2018: 38-39). Pada tahun 1949, NIT menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS), hingga akhirnya dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah NIT menjadi bagian dari RIS pada 1949, Mononutu kemudian terpilih menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet RIS dengan Perdana Menteri Mohammad Hatta. Pada periode ini, Mononutu menjabat selama hampir satu tahun yakni 20 Desember 1949–6 September 1950. Pada saat terpilih menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet RIS, Mononutu menjadi perwakilan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) (Finch dan Daniel, 1965: 22). Satu tahun kemudian, Arnold Mononutu kembali terpilih sebagai Menteri Penerangan, pada Kabinet Sukiman. Ia menjabat dari 27 April 1951 hingga 3 April 1952 (Feith, 2007: 180). Selanjutnya, ia kembali terpilih untuk menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Wilopo, yang menjabat dari 3 April 1952 hingga 1 Agustus 1953 (Finch and Daniel, 1965: 28). Selama menjabat sebagai Menteri Penerangan, salah satu kontribusi terbesar Arnold Mononutu adalah mengukuhkan dan mengumumkan penggunaan nama ‘Jakarta’, yang dilakukan pada 30 Desember 1949, setelah berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (lpmpsulawesiutara.kemendikbud.go.id, diakses pada Desember 2021).
Setelah selesai menjabat sebagai Menteri Penerangan selama tiga periode, pada 1953 Arnold Mononutu dipilih menjadi Duta Besar RI untuk Tiongkok. Wacana mengenai pengangkatan Mononutu sudah terdengar sejak Januari 1953 (Java Bode, edisi 22 Januari 1953; Het Nieuwsblad voor Sumatra, edisi 23 Januari 1953; Indische Courant voor Nederland, edisi 31 Januari 1953). Akan tetapi, Mononutu baru diumumkan secara resmi sebagai Duta Besar RI untuk RRT pada bulan April, 1953 (Indische Courant voor Nederland, edisi 04 April 1953). Selama menjabat sebagai Dubes RI untuk RRT, Mononutu banyak membangun relasi yang baik dengan RRT dan negara-negara lain. Salah satunya adalah dengan mengirimkan undangan pada saat akan dilaksanakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Dalam catatan rekaman percakapan antara Menteri Zhou (RRT) dan Mononutu yang terdapat pada koleksi arsip digital Wilson Center, disebutkan bahwa Mononutu berusaha untuk memastikan agar RRT mengirimkan delegasinya pada pelaksanaan Konferensi Asia Africa (Wilson Center’s Digital Archive Collection, 1955).
Setelah banyak berkecimpung dalam dunia perpolitikan Tanah Air, pada 1960 Arnold Mononutu didaulat untuk menjadi Rektor Universitas Hasanuddin oleh Presiden Sukarno. Mononutu bertugas selama lima tahun yakni dari 1960 hingga 1965. Selama lima tahun kepemimpinannya tersebut, jumlah mahasiswa Universitas Hasanuddin mengalami peningkatan yang signifikan. Ketika pertama kali menjabat sebagai Rektor, jumlah mahasiswa Universitas Hasanuddin adalah 4.000. Kemudian, setelah Mononutu menjabat jumlah mahasiswa meningkat hingga menjadi 8.000. Peningkatan jumlah mahasiswa ini kemudian diiringi dengan perluasan jurusan di universitas tersebut. Pada awalnya, di Universitas Hasanuddin hanya terdapat tiga fakultas yaitu, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, dan Fakultas Kedokteran. Kemudian di masa kepemimpinannya, Mononutu melakukan penambahan fakultas diantaranya yaitu Fakultas Ilmu Pasti dan Alam, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, Fakultas Sastra, Fakultas Sosial Politik, dan Fakultas Teknik (Nalenan, 1981: 239).
Selama masa hidupnya, Arnold Mononutu beberapa kali menjalin kisah asmara dengan sejumlah teman perempuannya. Akan tetapi, hingga menjelang usia senjanya, beliau hidup sendiri tanpa pasangan maupun keturunan, di rumahnya yang berada di bilangan Tebet, Jakarta. Arnold Mononutu tutup usia pada 5 September 1983 di Jakarta (Tirto.id, diakses pada November 2021). Atas kontribusi dan perjuangannya dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, beliau mendapatkan beberapa penghargaan. Pada tahun 1961, Arnold Mononutu dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra, yaitu penghargaan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga sipil oleh pemerintah Indonesia (Sulut.inews.id, diakses pada Desember 2021). Kemudian, pada Selasa, 10 November 2020, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 117/KT/Tahun 2020, Arnold Mononutu ditetapkan sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dengan itu, Arnold Mononutu menjadi tokoh Pahlawan Nasional Indonesia yang ke-10, dari Sulawesi Utara (regional.kompas.com, diakses pada Desember 2021).
Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si
Referensi
Amal, M. Adnan. (2016). Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Andri Setiawan, (2020), “Arnold Mononutu: Putra Minahasa jadi Pahlawan Nasional”, dalam Historia.id, https://historia.id/politik/articles/arnold mononutu-putra-minahasa-jadi-pahlawan-nasional-vYMMK/page/1 , diakses pada Desember 2021.
“Arnold Mononutu, Tokoh Asal Sulut ke-10 yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional”, dalam sulut.inews.id, https://sulut.inews.id/berita/arnold- mononutu-tokoh-asal-sulut-ke-10-yang-dianugerahi-gelar-pahlawan-nasional/1 , diakses pada Desember 2021.
“Arnold Mononutu: Tokoh Pergerakan Kemerdekaan dari Minahasa jadi Pahlawan Nasional”, dalam Kompas.com, https://regional.kompas.com/read/2020/11/09/21112821/arnold-mononutu- tokoh-pergerakan-kemerdekaan-dari-minahasa-jadi-pahlawan?page=all, diakses pada Desember 2021.
Digital Archive Collection (International History Declassified) Wilson Center, 22 Januari 1955, Record of Conversation from Premier Zhou’s Reception of the Indonesian Ambassador Arnold Mononutu.
Feith, Herbert. (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Jakarta: Equinox Pub.
Finch and Daniel S. Lev., (1965). Republic of Indonesia Cabinets, 1945-1965. New York: Southeast Asia Program, Department of Asian Studies, Cornell University.
Hasim, Rustam., (2018), “Kesultanan Ternate pada Era Pemerintahan Soekarno (1945-1968)”, dalam Jurnal Etnohistori, Vol. V, No. 2, Tahun 2018, hlm. 15-30.
Hatta, Muhammad., (1981). Mohammad Hatta, Indonesian Patriot: Memoirs. Jakarta: Gunung Agung.
Het Nieuwsblad voor Sumatra, edisi 23 Januari 1953
Indische Courant voor Nederland, edisi 04 April 1953
Indische Courant voor Nederland, edisi 31 Januari 1953
Java Bode, edisi 22 Januari 1953
Kementerian Penerangan, (1954). Kami Perkenalkan. Jakarta: Kementerian Penerangan RI.
Kurniawan, Putut Wisnu., (2017), “ Sejarah Berdirinya Perguruan Rakyat (Volksuniversiteit) 1928 di Jakarta”, dalam Jurnal Historia, Vol. 5, No. 1, Tahun 2017.
LPMP Sulawesi Utara, (2019), “Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu”, dalam lpmpsulawesiutara.kemdikbud.go.id, https://lpmpsulawesiutara.kemdikbud.go.id/arnoldus-isaac-zacharias-mononutu/ , diakses pada Desember 2021.
Nalenan, R. (1981). Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot. Jakarta: Gunung Agung.
Pakatuwo, Laessach M., Mustari Bosra, dan Ahmadin, (2018), “Negara Boneka Belanda (Negara Indonesia Timur) 1945-1950”, dalam Jurnal Pattingalloang (Pemikiran dan Pendidikan dan Penelitian Kesejarahan), Vol. 5, No. 1, Januari 2018, 1-12.
Petrik Matanasi, (2020), “Arnold Mononutu: Dia yang Memilih Mengorbankan Kuliahnya di Eropa”, dalam Tirto.id, https://tirto.id/arnold-mononutu-dia-yang-memilih-mengorbankan-kuliahnya-di-eropa-f6Rt, diakses pada Desember 2021.
Poeze, Harry A. (2008). Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (bekerjasama dengan KITLV).
Putro, Widhi Setyo, (2018), “Konferensi Inter-Indonesia Tahun 1949: Wujud Konsensus Nasional Antara Republik Indonesia dengan Bijeenkomst voor Federal Overleg”, dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1, hlm. 34-42.
Stutje, Klaas, (2013), “Indonesian Identities Abroad: International Engagement of Colonial Students in the Netherlands, 1908-1931”, dalam BMGN-Low Countries Historical Review, Vol. 128-1 (2013), pp. 151-172.
Sudarmanta, J.B. (2007). Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Utama, Wildan Sena, (2018), “Mempropagandakan Kemerdekaan di Eropa: Perhimpunan Indonesia dan Internasionalisasi Gerakan Antikolonial di Paris”, dalam Jurnal Sejarah, Vol. I (2), 2018: 25-45.
Utami, Indah Wahyu Puji, (2015), “Dari Indische Vereeniging Hingga Perhimpunan Indonesia: Nasionalisme Pemuda di Seberang Lautan”, Makalah disampaikan dalam kegiatan Seminar yang diadakan oleh HMJ Sejarah FIS UM, di Malang Jawa Timur tanggal 6 April 2015 dan dimuat dalam Prosiding yang berjudul “Pemuda dan Sejarah Indonesia dalam Perspektif Politik, Pendidikan dan Sosial Ekonomi” Editor Dr. Joko Sayono, M.Pd., M.Hum. diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.