Masykur

From Ensiklopedia
Masykur. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI - Kepustakaan Presiden


Kyai Haji Masykur adalah tokoh pergerakan politik Islam pada masa kolonial dan revolusi. Ia dilahirkan di Singosari, Malang, pada tahun 1899, K.H. Masykur merupakan putra sulung pasangan Maksum dan Maemunah, putri Kyai Rohim, seorang pengasuh pesantren di Singosari. Pada usia 9 tahun, Masykur telah ikut kedua orang tuanya untuk pergi haji. Sepulangnya dari ibadah haji, Masykur memasuki kehidupan pesantrennya. Ia belajar dari banyak pesantren di Jawa dan Madura, seperti pesantren Bungkuk di kota kelahirannya, pesantren Sono di Sidoarjo, pesantren Siwalan Panji yang juga di Sidoarjo untuk belajar nahwu dan sharaf, pesantren Tebu Ireng asuhan K.H. Hasyim Asyari untuk belajar hadits dan tafsir, pesantren K.H. Cholil di Bangkalan Madura untuk belajar Qira’atul Qur’an, dan Pesantren Jamsaren di Solo. Saat di Pesantren Jamsaren inilah ia menyadari bahwa ketertinggalan umat Islam salah satunya adalah di pesantren mereka tidak bisa baca-tulis latin. Ia kemudian belajar baca-tulis latin dari seorang perempuan Indo-Belanda (Syafi’i dalam Azra dan Umam, 1998: 56-57). Setelah tamat dari Jamsaren, ia mengunjungi pesantren Kresek Penyosokan di Cibatu, Jawa Barat, selama setahun.

Sepulangnya dari Kresek Penyosokan, Masykur mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan pesantrennya sendiri di Singosari. Pesantren baru tersebut diberinya nama Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air). Namun, ada gangguan-gangguan dari Pemerintah setempat yang khawatir terhadap perkembangan pesantrennya. Atas nasihat K.H. Wahab Chasbullah, ia mengubah nama pesantrennya menjadi Nahdlatul Wathan yang dianggap cabang dari Nahdlatul Wathan Surabaya. Sejak itu, pesantrennya tak lagi diganggu oleh Pemerintah setempat (Syafi’i dalam Azra dan Umam, 1998: 58). Kedekatannya dengan K.H. Wahab juga membuat menambah kedekatannya pada beberapa ulama yang aktif di Taswirul Afkar, seperti Kyai Mas Alwi, Kyai Mas Mansur, dan Kyai Ridwan. Kelompok inilah yang memprakarsai keikutsertaan ulama-ulama tradisional dalam Kongres Al-Islam di Hijaz yang berkembang menjadi Nahdlatul Ulama. Ia pun diangkat sebagai Ketua Cabang NU Malang, yang merupakan cabang ke-6. Tak lama ia diangkat sebagai Pengurus Besar NU di Surabaya tahun 1938.

Pada masa pendudukan Jepang, K.H. Masjkur bergabung dengan Hizbullah yang menghimpun pemuda-pemuda NU untuk dilatih sebagai paramiliter. Bersama K.H. Nuryasin dan H.M. Kholil, ia mewakili karesidenan Malang untuk mengikuti latihan khusus bagi ulama yang diadakan oleh Pemerintahan Militer Jepang. Jelang kemerdekaan, ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia termasuk yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Setelah berita kemerdekaan Indonesia menyebar luas di tanah air, K.H. Masjkur mendengar berita mengenai peristiwa Hotel Yamato, dimana seorang Belanda berusaha mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru, namun dirobek bagian birunya oleh para pemuda. K.H. Masjkur pun menjadi tergugah untuk kembali mengaktifkan para pemuda barisan Hizbullah yang direkrutnya. Ia lalu bergabung dengan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam saat itu. Melihat suasana revolusi yang semakin menggelora, Masyumi merasa perlu memiliki barisan bersenjata dan K.H. Masjkur dipercaya sebagai pimpinan Masyumi barisan bersenjatanya yang disebut bagian pembelaan. Setelah itu K.H. Masjkur juga dipercaya sebagai anggota Dewan Pertahanan Negara.  

Pada saat menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara itulah, K.H. Masjkur dipanggil oleh Presiden Sukarno ke ibukota negara yang saat itu berada di Yogyakarta. Ia diminta membantu kabinet Amir Sjarifuddin yang akan melakukan reshuffle. K.H. Masjkur pun diangkat sebagai Menteri Agama di kabinet Amir Sjarifuddin hasil reshuffle pada 11 November 1947 (Soebagijo, 1982: 71). Namun, saat itu semua energi kabinet tertuju pada perundingan Renville sehingga peran beberapa kementerian dianggap belum optimal, termasuk Kementerian Agama. Pada tanggal 13-16 November 1947, K.H. Masjkur berhasil membuat Konferensi Kementerian Agama dengan Jawatan-Jawatan Agama seluruh Indonesia yang diadakan di Yogyakarta. Dalam konferensi tersebut disepakati pembentukan bagian Penerangan dan Penyiaran di setiap Jawatan Agama di seluruh Indonesia. K.H. Masjkur juga mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 1947 mengenai biaya perkara Pengadilan Agama yang harus disetor ke kas negara (Syafi’i dalam Azra dan Umam, 1998: 62).

Saat kabinet Amir Sjarifuddin digantikan oleh Kabinet Hatta akibat ketidakpuasan masyarakat atas hasil Perjanjian Renville, K.H. Masjkur kembali dipercaya untuk menjadi Menteri Agama. Ia pun memberlakukan UU No. 19 Tahun 1948 mengenai Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan yang salah satu pasalnya menyatakan bahwa perkara-perkara perdata umat Islam diperiksa dan diputuskan menurut Hukum Islam dengan formasi tiga hakim, yaitu satu Hakim Ketua beragama Islam dan dua Hakim Anggota yang ahli Hukum Islam. Selain itu, K.H. Masjkur mencabut Maklumat Kementerian Agama No. 4 Tahun 1947 mengenai penghentian ibadah haji di masa perang. Ia memberangkatkan delegasi haji Indonesia di bawah pimpinan K.H. Adnan. Kebijakan lainnya yang diambil K.H. Masjkur adalah revisi biaya pencatatan perkawinan (Syafi’i dalam Azra dan Umam, 1998: 67).

Setelah Peristiwa Madiun meletus pada tahun 1948, K.H. Masjkur berusaha untuk mendata ulama, penghulu, naib, atau pesantren yang menjadi korban peristiwa tersebut. Terutama di Madiun dan Kediri yang menjadi pusat pergerakan komunis saat peristiwa Madiun berlangsung. Saat di Kediri, ia meminta K.H. Abdul Kholik untuk membuat Kantor Urusan Agama (KUA) di kabupaten. KUA Kabupaten Kediri akhirnya menjadi KUA pertama di Indonesia. Ia juga ditugaskan untuk menemui S.M. Kartosuwirjo yang keluar dari Masyumi dan mendirikan Negara Islam Indonesia. Namun, ia tak berhasil menemui pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu (Soebagijo, 1982: 83).

Saat Belanda melancarkan Agresi Militer II, K.H. Masjkur berhasil meloloskan diri dan ikut bergerilya di Jawa Timur. Ia sempat singgah di Pesantren Gontor untuk melihat siapa saja tokoh-tokoh Republik yang ikut bergerilya. Sesampainya di Trenggalek, ia bertemu dengan Harsono Tjokroaminoto yang merupakan penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia pun dipertemukan dengan Soedirman dan bergerilya bersama selama tiga hari. Saat pasukan berada di Pacitan, pasukan K.H. Masjkur berpisah dengan pasukan Soedirman untuk menuju ke Yogyakarta (Syafi’i dalam Azra dan Umam, 1998: 67).

Agresi Militer II yang dilakukan Belanda juga telah membuat Presiden Sukarno untuk mengirimkan berita kepada Sjarifuddin Prawiranegara, yang sedang berkunjung ke Sumatra, untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pada masa PDRI inilah, Sjarifuddin Prawiranegara menunjuk Teuku Muhammad Hasan, yang sebelumnya sebagai Gubernur Sumatra, sebagai Menteri Agama, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri sekaligus. Pasca-perjanjian Roem-Royen, PDRI mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno. Lewat penetapan Presiden No. 6 Tahun 1949, PDRI dinyatakan bubar dan diangkatlah kembali Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Pada masa Kabinet Hatta yang kedua inilah, K.H. Masjkur kembali diangkat sebagai Menteri Agama.

Pada masa peralihan setelah penyerahan kedaulatan, K.H. Masjkur tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama. Di Negara Bagian Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri A. Halim, Menteri Agama dijabat oleh K.H. Fakih Usman. Sedangkan, di Republik Indonesia Serikat yang menjadi federasi seluruh negara bagian, Perdana Menterinya dijabat oleh Mohammad Hatta dan Menteri Agamanya adalah K.H. Wahid Hasyim yang merupakan Ketua Pengurus Besar (PB) NU. Saat Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan dengan Mosi Integral dari Mohammad Natsir, K.H. Masjkur dimintai bantuannya oleh K.H. Wahid Hasyim selaku Menteri Agama untuk berkeliling Indonesia dalam rangka merekrut pegawai dan membuka kantor-kantor urusan agama.

Dalam Muktamar NU tanggal 1 Mei 1952 diputuskan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Dalam muktamar tersebut juga ditetapkan K.H. Wahid Hasyim sebagai Ketua Umum PBNU dan K.H. Masjkur sebagai Ketua I. Namun, pada 19 April 1953, K.H. Wahid Hasyim meninggal dunia karena kecelakaan mobil dan digantikan oleh K.H. Masjkur sebagai Ketua Umum PBNU. Pada 30 Juli 1953, ia diangkat kembali sebagai Menteri Agama oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo hingga tahun 1955. Setelah Kabinet Ali jatuh, K.H. Masjkur menjadi anggota konstituante. Sikapnya masih sama dengan sikapnya saat di BPUPKI yang menginginkan agar Islam menjadi dasar negara Republik Indonesia. Setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden, K.H. Masjkur menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mewakili NU. Ia juga bergabung sebagai anggota Biro Politik pada Komando Retuling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang dibentuk oleh Presiden (Syafi’i dalam Azra dan Umam, 1998: 77-78).    

Setelah Gerakan 30 September 1965 meletus, K.H. Masjkur turut serta dalam upaya untuk menguasai sarana-sarana umum, seperti sarana komunikasi, transportasi, pabrik-pabrik, dan lain sebagainya (Soebagijo, 1982: 189). Pada saat itu, ketegangan antara NU dan PKI mencapai puncaknya. Pada masa Orde Baru, K.H. Masjkur pernah dipercaya sebagai Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR. Saat PPP dilanda perpecahan, K.H. Masjkur berusaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih, namun upaya tersebut tidak berhasil. Di akhir hayatnya, K.H. Masjkur masih aktif di NU. Ia juga menjadi Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dewan Kurator dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. K.H. Masykur meninggal di usia 92 tahun pada 18 Desember 1992.

Penulis: Haryo Mojopahit
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Azra, Azyumardi dan Umam, Saeful (ed.). (1998). Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat.

Soebagijo, Ilham N. (1982). KH. Masjkur: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung.