Wongsonegoro
Kanjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonegoro lahir di Surakarta pada tanggal 20 April 1897. Lelaki yang lahir dengan nama Raden Mas Soenardi ini merupakan putra dari pasangan Raden Ngabehi Gitodiprojo dan Raden Ajeng Soenartinah. Ayahnya sendiri bekerja di lingkungan istana sebagai abdi dalem panewu bagi Sri Susuhunan Pakubuwono X. Dengan demikian, Wongsonegoro lahir di lingkungan kelas sosial priayi dalam kultur Jawa.
Sebagai seorang keturunan priayi, Wongsonegoro memiliki peluang pendidikan lebih besar dibanding anak keturunan pribumi lainya. Di masa kecilnya, ia bisa mengenyam pendidikan di Frobel School, Sebuah Taman Kanak-Kanak bagi anak-anak Belanda dan keturunan priayi. Selanjutnya ia sekolah di jenjang sekolah dasar, Europeesche Lagere School (ELS). Setelahnya, Wongso kembali melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Lulus dari MULO, Wongso dikirim belajar ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan di Rechts School (Sekolah Menengah Hukum).
Lulus dari Rechts School memungkinkan Wongso yang kembali ke Solo pada 1917 mendapat pekerjaan di Landraad Solo, setingkat Pengadilan Negeri. Tahun 1918, Wongso pindah menjadi Sekretaris Raad Negeri Solo. Tahun 1921, ia kemudian promosi menjadi Bupati Anom Jaksa Persidangan Perdata Gede sekaligus Ajun Kantor Kepatihan Solo. Karena kiprahnya di bidang hukum dan ekspektasi dari lingkungan keraton, ia diberi beasiswa belajar di Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) dari Pemerintahan Kasunanan. Pada tahun 1929, Wongso berhasil menamatkan tugas belajarnya dan berhak atas gelar akademik Meester in de Rechten (Sarjana Hukum).
Pendidikan yang cemerlang memungkinkan Wongsonegoro meniti karir lebih lanjut. Tahun 1930, Wongso diangkat menjadi Bupati Nayaka bagian Pangreh Praja dan Kehakiman merangkap Hakim keluarga Sunan Paku Buwono. Selanjutnya di tahun 1939 hingga 1942, ia diangkat menjadi Bupati Sragen dengan nama Bupati Raden Tumenggung Djaksonogoro.
Lahir dan tumbuh di periode pergerakan nasional, Wongso ikut tertarik aktif di dalamnya. Pada 7 Maret 1915, Wongsonegoro terlibat dalam pendirian organisasi kepemudaan Trikoro Dharmo bersama kawan-kawannya seperti Satiman Wirjosandjojo, Sutomo, Muslich, Mosodo, dan Abdul Rahman. Dalam organisasi ini, Wongso ditunjuk sebagai Wakil dari Ketua Satiman Wirjosandjojo. Organisasi ini menekankan pentingnya persatuan siswa-siswi pribumi dan kecintaan pada kebudayaan sendiri. Dalam perkembangannya, Tri Koro Dharmo sendiri diubah menjadi Jong Java guna mengakomodir pemuda-pemuda di sekitar Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.
Selain itu, Wongsonegoro juga terlibat aktif dalam sejumlah organisasi kepemudaan, pergerakan nasional, dan politik (Depdagri, 1996: 73-74). Sepanjang 1920-1932, ia mengetuai Perkumpulan Kebudayaan Krida Wacana Solo, 1923-1924 memimpin Budi Utomo Cabang Solo sekaligus mengetuai Jong Java dan mendirikan Indonesia Moeda. Selanjutnya di tahun 1946 ia mendirikan Partai Indonesia Raya.
Peran kebangsaan Wongsonegoro yang cukup penting ditandai dengan penunjukkan dirinya sebagai anggota dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang didirikan 1 Maret 1945 (Sularto & Yunarti, 2010: 9-15). Pada badan yang diketuai dr. KRT Radjiman Wediodiningrat dengan wakilnya RP Suroso, Wongsonegoro bersama 66 anggota BPUPKI lainnya bekerja mempersiapkan berbagai hal terkait aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. BPUPKI sendiri melakukan serangkaian sidang dengan membahas bentuk negara, konstitusi, dan landasan ideologi negara.
Dalam BPUPKI, Wongso juga masuk ke dalam tim kecil dari sidang panitia Perancang Undang-Undang Dasar pada 11 Juli 1945 yang diketuai Ir. Sukarno. Tim kecil ini beranggotakan tujuh orang yaitu Prof. Mr. Dr. Soepomo (ketua panitia kecil), Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Mr. Alexander Andries Maramis (anggota), Mr. Raden Panji Singgih (anggota), Haji Agus Salim (anggota), Dr. Soekiman Wirjosandjojo (anggota), dan Mr. KRMT Wongsonegoro (anggota) sendiri.
Selanjutnya, hasil kerja tim kecil ini dibahas pada 13 Juli 1945 untuk selanjutnya dilaporkan pada sidang Pleno BPUPKI pada 14 Juli 1945. Dalam laporan tersebut, Ir. Sukarno menjelaskan rancangan Undang-Undang Dasar yang kelak disebut Undang-Undang Dasar 1945. Di dalamnya tercantum tiga hal pokok, yaitu Pernyataan tentang Indonesia Merdeka, Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar.
Salah satu usulan Wongsonegoro dalam sidang tim kecil itu adalah perlunya menambah frasa ‘dan kepercayaannya itu’ pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 (Damami, 2011 & Rofiq, 2014). Diketahui, Pasal 29 ayat 1 berbunyi : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa''. Sedang Pasal 29 ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Mengutip Damami, keberadaan frase ini memungkinkan pemerintah Indonesia semenjak awal kemerdekaan memberikan pengakuan resmi kepada keberadaan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Dengan demikian, Wongsonegoro secara tidak langsung telah meletakkan dasar pentingnya kerukunan agama-agama dan aliran kepercayaan.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, kiprah Wongsonegoro dalam pemerintahan yang baru terbentuk adalah ditunjuk menjadi Gubernur Jawa Tengah, menggantikan R.P. Soeroso, pada 13 Oktober 1945. Tugas ini dilaksanakannya hingga 13 Oktober 1949. Ia memimpin kawasan ini dengan berbagai dinamikanya mengingat masa ini merupakan masa revolusi kemerdekaan dimana Belanda mencoba kembali masuk dan menguasai tanah air. Bahkan di awal kepemimpinannya di Jawa Tengah, Wongsonegoro dihadapkan pada revolusi fisik yang melibatkan para pemuda tanah air dalam barisan Tentara Keamanan Rakyat (kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia) dan balatentara Jepang. Dalam peristiwa yang kelak dinamakan Pertempuran Lima Hari di Semarang, Wongsonegoro sempat ditahan pihak Jepang. Lainnya, Wongsonegoro juga harus memimpin Jawa Tengah dengan berpindah-pindah daerah seperti ke Demak, Purwodadi, Magelang, Kedu dan sekitarnya menyusul situasi perang gerilya di masa itu.
Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur Jawa Tengah, Wongsonegoro melanjutkan kiprah kebangsaannya di tingkat nasional. Kiprah ini ditandai dengan masuknya Wongsonegoro sebagai anggota sejumlah kabinet pemerintahan Indonesia yang terus berganti di masa itu (Simandjuntak, 2003). Masuknya Wongsonegoro dimulai ketika Muhammad Hatta membentuk Pemerintahan Kabinet Hatta II. Pada kabinet yang berlangsung sejak 4 Agustus-14 Desember 1949, Wongsonegoro ditunjuk menjabat Menteri Dalam Negeri mewakili Partai Indonesia Raya. Posisinya digantikan Ide Anak Agung Gde Agung ketika Hatta membentuk kabinet pemerintahan baru, Kabinet Republik Indonesia Serikat yang berlangsung sejak 20 Desember 1949 hingga 6 September 1950.
Namun Wongsonegoro kembali masuk dalam jajaran kabinet pemerintahan ketika Muhammad Natsir membentuk Kabinet Natsir 6 September 1950. Pada kabinet ini, Wongsonegoro menjabat Menteri Kehakiman. Ia masuk dalam jajaran kabinet ini bersama sejumlah tokoh nasional lain seperti Mohammad Roem (Menteri Dalam Negeri), Sjafrudin Prawiranegara (Menteri Keuangan), Bahder Johan (Menteri Pendidikan), R.P. Suroso (Menteri Pekerjaan Umum). Namun, Kabinet Natsir mendapat mosi tidak percaya sehingga jatuh pada Maret 1951 dan digantikan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo.
Pada Kabinet Sukiman-Soewirjo (April 1951–Februari 1952), Wongsonegoro tetap dipercaya berada dalam kabinet pemerintahan. Namun kali ini, ia harus meninggalkan pos Menteri Kehakiman untuk menempati pos baru sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menggantikan Bahder Djohan. Pos kementerian ini ditinggalkan Wongsonegoro ketika Kabinet Sukiman digantikan Kabinet Wilopo 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953. Namun Wongsonegoro kembali duduk di Kabinet Pemerintahan Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 hingga 24 Juli 1955). Pada pemerintahan ini, Wongsonegoro menempati posisi Wakil Perdana Menteri (mewakili Partai Persatuan Indonesia Raya) bersama Zainul Arifin (Nahdlatul Ulama) sehingga kabinet ini dikenal juga sebagai Kabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsonegoro atau Kabinet Ali Sastroamidjojo-Wongso-Arifin.
Kabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsonegoro sendiri memiliki sejumlah fokus kerja seperti mendorong stabilitas keamanan di dalam negeri, pembebasan Irian Barat, penegasan politik luar negeri bebas aktif, penyelesaian pertikaian politik, peninjauan kembali Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), dan penyiapan Pemilihan Umum 1955 (Thoha, 2014: 151-154). Situasi yang dihadapi kabinet ini sendiri sangat berat, selain persoalan ekonomi, di berbagai daerah juga muncul berbagai gerakan yang mengancam persatuan nasional seperti perlawanan Daud Beureueh di Aceh melalui Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan perlawanan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Prestasi penting kabinet ini sendiri adalah terlaksananya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 18–25 April 1955 yang meneguhkan semangat negara-negara di Asia dan Afrika dalam melawan kolonialisme.
Setelah beberapa waktu terlibat dalam kabinet pemerintahan, Wongsonegoro selanjutnya lebih banyak terlibat dalam pengorganisasian para penghayatan kepercayaan (Aliran Kepercayaan/Kebatinan). Tahun 1955, ia mendorong penyelenggaraan Kongres Kebatinan tingkat nasional di Semarang. Tak kurang dari 70 aliran kepercayaan dari seluruh Indonesia hadir dan menyepakati berdirinya Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI). Pada kongresi itu, Wongso diangkat menjadi ketuanya. Pada kongres itu, Wongso memberikan penegasan tentang kedudukan aliran kepercayaan (Subagya, 2002: 42):
“Agama dan Kebatinan (Kepercayaan): Kedua-duanya mempunyai unsur yang sama yaitu panembah (kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan budi luhur. Perbedaannya adalah hanya terdapat pada stress atau tekanannya. Bagi agama stressnya diberikan kepada panembah (Tuhan) sedangkan pada kebatinan memberikan tekanan pada tercapainya budi yang mulia dan kesempurnaan hidup.”
Kedekatannya dalam aliran kebatinan terlihat dari kepribadian sehari-harinya. Wongso selalu menunjukan sikap-perilaku terpuji seperti kesederhanaan, keselarasan, kejujuran, patriotisme, disiplin dan sangat religius hingga wafatnya pada tanggal 4 Maret 1978 dalam usia 81 tahun. Sikap perilaku semasa hidupnya dituliskan pada monumen makamnya di Astana Kandaran, Sukoharjo, yang berbunyi “Janma Luwih Hambuka Tunggal, “ yang berarti orang yang mempunyai kemampuan lebih akan selalu mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Selain itu, dituliskan juga “Haruming Sabda Haruming Budi,“ yang berarti orang yang selalu bertutur kata baik dalam arti yang benar, menggambarkan pribadi orang yang berbudi luhur.
Penulis: Tati Rohayati
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.
Referensi
Anwar, Rosihan (2009). Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia. Jilid 3. Jakarta: Kompas.
Ahmad Choirul Rofiq. “Kebijakan Pemerintah Terkait Hak Sipil Penghayat Kepercayaan dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Penghayat Kepercayaan di Ponorogo” dalam Jurnal Kodifikasia, Vol.8., No.1., Tahun 2014, h. 1-22.
Departemen Dalam Negeri RI (Bagian Perpustakaan). Departemen Dalam Negeri Dari Masa Ke Masa. Jakarta: Depdagri & CV Muara Agung Jakarta, 1996.
Miftah Thoha. Birokrasi Politik & Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2014.
Muhammad Damami. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Periode 1973-1983: Sebuah Sumbangan Pemahaman tentang Proses Legalisasi Konstitusional dalam Konteks Pluralitas Keberagamaan di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011.
P.N.H., Simanjuntak. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia: Dari Awal Kemerdekaan Sampai Reformasi. Jakarta : Djambatan, 2003.
Rahmat Subagya. Kepercayaan dan Agama Kebatinan Kerohanian Kejiwaan. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
St. Sularto & D. Rini Yunarti. Konflik dibalik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan. Jakarta: Kompas, 2010.