Muhammad Natsir
Muhammad Natsir atau M. Natsir lahir 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado yang bekerja sebagai juru tulis kontrolir di Maninjau dan kemudian menjadi Sipir di Bekeru, Sulawesi Selatan. Ibunya bernama Khadijah. Kedua orang tua Muhammad Natsir adalah muslim yang taat. Sejak kecil M. Natsir telah dididik dengan ilmu agama.
Ia mulai menempuh pendidikan di sekolah Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabyah Padang yang didirikan oleh tokoh pergerakan. Sebelum memasuki HIS, M. Natsir sebenarnya sudah mulai sekolah di Sekolah Rakyat selama beberapa bulan, namun tidak resmi atau tidak terdaftar. Setelah beberapa bulan sekolah di HIS Adabyah, ia dipindahkan ayahnya ke HIS Solok. Di Solok, ia dititipkan ayahnya di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Siang hari ia bersekolah di HIS, sore hari belajar di madrasah, dan malam mengaji Al-Qur’an. Setelah tiga tahun sekolah di HIS Solok, ia pindah ke HIS Padang. Sekolah ini pernah menolaknya karena ayahnya bukan berasal dari pegawai tinggi.
Setelah lulus HIS, Natsir memperoleh beasiswa di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Natsir mulai belajar bermain biola dan aktif di berbagai organisasi seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane.
Pada tahun 1927, ia meneruskan pendidikan formalnya ke Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung dan memilih jurusan Kesusastraan Barat Klasik. Di Bandung, Natsir mulai tertarik kembali untuk belajar agama seperti yang dilakukannya saat di Solok. Ia belajar agama dari seorang pendiri Persatuan Islam (Persis) yaitu Ahmad Hasan dan mulai kembali mempelajari Al-Quran dari dua terjemahan yang diberikan A. Hassan, terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Ali dan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan. Natsir sangat bersemangat mempelajari Islam hingga pelajaran sekolahnya hampir tertinggal.
Pada awal M. Natsir menempuh pendidikan di AMS Bandung, ia mengalami kesulitan berbahasa Belanda. Pada umumnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda mulai dari HIS, MULO hingga AMS menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Namun MULO Padang ternyata menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehingga saat M. Natsir melanjutkan studi ke AMS Bandung, kemampuan bahasa Belandanya tidak sefasih teman-temannya dari Jawa. Hal ini mendorongnya untuk belajar bahasa Belanda. Berkat kerja kerasnya, kemampuan berbahasa Belanda M. Natsir semakin meningkat. Bahkan ia mampu memperoleh juara I dalam lomba deklamasi berbahasa Belanda dan menulis paper dengan menggunakan bahasa Belanda yang baik dan benar. Lambat laun Natsir bukan hanya menguasai bahasa Belanda, ia juga menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis, dan Jerman. Muhammad Natsir juga sangat menyukai musik klasik karangan Ludwig van Beethoven dan pintar bermain biola. Hal ini yang kemudian membuatnya dekat dengan Douwes Dekker yang memiliki hobi yang sama, yaitu bermain musik. Selain itu mereka berdua memiliki ide-ide yang sama tentang perjuangan, demokrasi, dan keadilan.
Ketertarikan terhadap politik dimulai saat ia memasuki Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung. JIB didirikan Haji Agus Salim dengan Wiwoho Purbohadijoyo. Ini adalah awal perkenalan Natsir dengan Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Kasman Singodimedjo, yang belakangan menjadi tokoh politik Masyumi, partai yang didirikannya. Di sana juga ia mengenal Nur Nahar, perempuan yang kelak menjadi istrinya. Natsir menjadi Wakil Ketua JIB Bandung pada 1928-1932. Sejak bergabung dengan JIB, Natsir mulai sering mengikuti perkembangan politik di Hindia Belanda dan mengikuti gerak langkah para politisi seperti Agus Salim dan Cipto Mangunkusumo. Keduanya memberikan inspirasi bagi Muhammad Natsir untuk memperluas wawasan politiknya. Selain itu, Natsir juga mulai membaca buku-buku bersifat politik seperti karya Snouck Hurgronje di antaranya Netherland en de Islam, yang memaparkan strategi Hurgronje dalam menghadapi Islam. Buku ini membuat Natsir bertekad melawan Belanda melalui pendidikan. Hal ini mendorong M. Natsir mengurungkan niatnya melanjutkan studi Ilmu Hukum setelah tamat dari AMS. Padahal Natsir berhak mendapat beasiswa kuliah di fakultas hukum di Batavia atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Belanda. Pada tahun 1931, ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan studi di Lagere Onderwijs (LO) atau Sekolah Guru Lanjutan non-Eropa. Satu tahun kemudian ia menyelesaikan studinya dan mendirikan sebuah Lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung pada tahun 1932.
Lembaga Pendis yang didirikan M. Natsir menjadi alat perjuangannya dalam bidang pendidikan. Lembaga ini terdiri dari beberapa sekolah seperti Taman Kanak-kanak, HIS, MULO dan sekolah keguruan. Natsir membangun lembaga pendidikan Islam yang modern, berbeda dengan pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah berkembang. Ia ingin menggabungkan ilmu pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah Belanda dengan pelajaran agama Islam. Sistem pendidikan Islam modern ini bertujuan untuk menciptakan manusia yang seimbang intelektual dan keimanannya. Di Pendis, Natsir mendorong muridnya untuk mandiri dan percaya diri. Mereka diberi keterampilan berkebun, bermain piano dan menciptakan lagu. Natsir mengajarkan seni di Lembaga Pendidikan Islam untuk menghaluskan perasaan. Setiap tahun diselenggarakan pentas seni musik, tari, dan tonil (drama dan sandiwara). Selain itu juga diadakan pameran kerajinan tangan hasil karya murid Pendidikan Islam. Natsir ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Islam bukan penghambat kemajuan, tetapi menjadi bagian dari kemajuan itu. Lembaga Pendidikan Islam yang didirikan Mohammad Natsir ini disebut Belanda sebagai sekolah liar. Namun menurut Natsir sebutan liar merupakan suatu kehormatan karena menunjukkan bahwa sekolah pendidikan Islam berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda.
Kesibukan M. Natsir sebagai pendidik ternyata tidak mengurangi aktivitasnya di bidang politik. Ia rajin berinteraksi dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan. Natsir sangat mengagumi ide-ide persatuan Sukarno. Namun perbedaan dalam memandang Islam akhirnya membuat Natsir harus berseberangan dengan Sukarno. Pada tahun 1930, Natsir mulai aktif di partai politik. Ia menjadi anggota dari Partai Sarekat Islam (PSI) cabang Bandung. Ketika PSI terpecah belah, Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII) yang didirikan oleh dr. Soekiman Wirjosandjojo, KH. Mas Mansur, R. Wiwohono, dan Ki Bagus Hadikusomo pada tahun 1939. Bahkan M. Natsir terpilih menjadi Ketua PII cabang Bandung sampai kedatangan Jepang pada tahun 1942 dan membubarkan semua partai politik pada saat itu.
Selain aktif di Partai Islam Indonesia, Natsir aktif di Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 atas inisiatif KH. Mas Mansur (Muhammadiyah), KH. A. Wahab Chasbullah (NU), KH. A. Achmad Dahlan (Non Partai), dan Wondoamiseno (SI). Pada masa pendudukan Jepang MIAI diubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Pada tanggal 7 November 1945, M. Natsir bersama Sukiman dan Mohammad Roem menjadikan Masyumi sebagai partai politik.
Pada masa awal kemerdekaan, M. Natsir menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946). Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) serta dalam kabinet Hatta (1948), Muhammad Natsir ditunjuk sebagai Menteri Penerangan. Pada saat menjabat Menteri Penerangan, hubungan Natsir dengan Sukarno mulai membaik. Sebelumnya kedua tokoh ini berbeda pandangan tentang hubungan Islam dan Negara. Namun, setelah menjadi Menteri Penerangan, Natsir ditugaskan Sukarno untuk mengkonsep pidato peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Natsir meletakkan dasar-dasar Departemen Penerangan.
M. Natsir merupakan tokoh yang konsisten dalam pemikirannya tentang ide-ide persatuan bangsa. Ketika terbentuknya Negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, ia mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS. Mosi ini mengembalikan Indonesia dari Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Muhammad Natsir dicatat sebagai sang arsitek utama yang mengembalikan Republik Indonesia Serikat ciptaan Van Mook menjadi Republik Indonesia. Hal ini ditandai dengan pembacaan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat 15 Agustus 1950. Atas jasanya, ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno. Saat membentuk kabinet, ia menghadapi kesulitan karena Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak mendukung. Hampir saja ia menyerahkan mandat kembali kepada Presiden. Namun, Sukarno sebagai sesepuh PNI tetap mendukungnya dan memintanya membentuk kabinet tanpa partai itu. Akhirnya Natsir membentuk kabinet yang terdiri atas 18 menteri. Kabinet ini dikenal sebagai Zaken Kabinet alias Kabinet Ahli yang orang-orangnya dipilih sesuai dengan keahlian masing-masing ketimbang pertimbangan perwakilan partai. Namun Kabinet Natsir hanya berumur tujuh bulan. Pertentangan Natsir dengan PNI dan PKI semakin memuncak. Selain itu, pernyataan Natsir bahwa dasar Negara adalah Islam menyebabkan hilangnya dukungan Sukarno kepada Natsir. Hubungan Natsir dengan Sukarno semakin memburuk dan puncaknya Natsir mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri.
Pada masa demokrasi terpimpin, Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara menghimbau Sukarno untuk kembali ke konstitusi dan demokrasi harus dipulihkan. Menurut Natsir demokrasi terpimpin seharusnya dibimbing nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup yang tinggi, bukan dalam arti seluruh sistem demokrasi dikendalikan seseorang atau beberapa orang yang serba kuasa yang tidak kenal kendali. Akibatnya, pada tahun 1959, Sukarno membubarkan Partai Masyumi yang dipimpin Natsir, dan ia ditangkap atas tuduhan terlibat Pemberontakan Rakyat Republik Indonesia (PPRI) Permesta. Muhammad Natsir diasingkan sebagai karantina politik di Batu, Malang, Jawa Timur (1960-1962). Ia kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Jakarta (1962-1966). Muhammad Natsir dibebaskan oleh pemerintahan Soeharto pada Juli 1966, tanpa melalui proses pengadilan dan tanpa satu tuduhan pun kepadanya. Setelah dibebaskan, Natsir berniat menghidupkan kembali Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Namun Soeharto melarang tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap akan memicu persoalan. Soeharto juga melarang tokoh Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Kegagalan Natsir menghidupkan Masyumi tidak menghentikan gerak langkahnya. Ia dan para aktivis di Masyumi membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada tanggal 26 Februari 1967. Natsir adalah tokoh Indonesia yang mempunyai banyak kemampuan. Selain sebagai politisi, ia juga seorang birokrat dan pendakwah yang ulung. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan merangkap sebagai tokoh puncak Rabithah Alam Islami. Lembaga dakwah yang didirikan Natsir banyak memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dakwah di Indonesia. Seruan dakwah yang dilakukannya menyentuh semua lapisan masyarakat. Dakwah yang dilakukannya tidak hanya di perkotaan, tetapi sampai ke daerah terpencil. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang dipimpinya memberikan sumbangan terhadap pendirian sarana pendidikan di perkotaan dan pedesaan.
Di dunia Internasional, Natsir dikenal sebagai tokoh Islam terkemuka di Indonesia yang mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan Afrika. Ia juga menghimpun kerjasama antara negara-negara Islam yang baru merdeka. Natsir sering diminta nasehat dan pandangan bukan saja dari tokoh-tokoh Palestine Liberation Organisation (PLO), Mujahidin Afghanistan, Moro, dan Bosnia, tetapi juga dari tokoh-tokoh politik dunia yang bukan Islam seperti Jepang dan Thailand. Di dunia akademik, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Lebanon (1967) dalam bidang sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Tehnologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran. Pada tahun 1980, ia menerima penghargaan berupa Bintang Penghargaan dari Tunisia dan dari Raja Faisal Arab Saudi (1980).
Semasa menjabat sebagai Ketua DDII, Muhammad Natsir tetap membantu pemerintah Orde Baru terutama dalam upaya memperoleh kredit dari Jepang dan negara-negara di timur Tengah. Namun pada tahun 1980, Natsir mulai tidak sejalan dengan pemerintahan Orde Baru. Ia tidak menyetujui konsep dwitunggal ABRI. Ia menandatangani Petisi 50 bersama tokoh seperti Sjafroeddin, Kasman, Boerhanoeddin, Abdul Harris Nasution, Anwar Harjono, dan juga Ali Sadikin. Pemerintah Orde Baru kemudian melarang seluruh tokoh dalam Petisi 50 termasuk Natsir pergi ke luar negeri. M. Natsir menjadi bagian dari petisi 50. Petisi 50 dianggap "musuh utama" pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru di Maluku sebagai gulag (tahanan politik). Namun rencana itu konon digagalkan oleh Jenderal M. Jusuf, Panglima ABRI yang menentang tentara berpolitik.
Natsir adalah sosok yang sederhana. Ia berprinsip cukupkan yang ada jangan cari yang tiada dan mensyukuri nikmat. Pada awal menjadi Menteri Penerangan di tahun 1945-1946, Natsir belum memiliki rumah dan menumpang di rumah milik temannya. Periode menumpang rumah baru berakhir ketika menempati rumah Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan. Pakaian Natsir sangat sederhana, bahkan ia hanya memiliki dua stel kemeja. Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam dinilai tidak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabotan sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.
Pola hidup sederhana yang diterapkan Natsir membuatnya mampu bertahan hidup di hutan dan mendekam dari satu penjara ke penjara lain selama 1960-1966. Teladan kesederhanaannya tetap ditunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Sejarah telah mencatat M. Natsir sebagai tokoh abad 20 yang bertaraf nasional dan internasional, serta pahlawan Indonesia yang memiliki politik yang santun.
Penulis: Ida Liana Tanjung
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
Dzulfikriddin, M, 2010, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, Bandung: Mizan, 2010.
Luth, Thohir, 1999, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani.
Rosidi, Ajip. 1990, M. Natsir Sebuah Biografi. Jakarta: Girimukti Pasaka.
Dewanto, Nugroho (ed.),2011, Natsir Politik Santun di Antara Dua Rezim, Jakarta: Tempo.
Hakiem,, Lukman. 2008. M. Natsir di Panggung Sejarah Republik. Jakarta: Republika
-----------,2008. 100 Tahun Mohammad Natsir Berdamai Dengan Sejarah, Jakarta: Republika.
Rais, M. Amien. 2004. Hubungan Antara Politik dan Dakwah Berguru Kepada M. Natsir. Bandung: Mujahid Press.
Haryono, Anwar dan Lukman Hakim. 1995. M. Natsir Pemikiran dan Sumbangannya untuk Indonesia. Jakarta: Media Dakwah.
Anwar Harjono, dkk, 2001. Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pusaka Firdaus.
Raihan, Kepemimpinan Mohammad Natsir Di Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia (1967-1993), Jurnal Al-Bayan Vol. 19, No. 28, Juli – Desember 2013.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme Islam dan Demokrasi Pandangan Politik M. Natsir, dalam Islamika, nomor 3 Januari – Maret 1994,